Cahaya Palsu



Oleh Uwan Urwan

Lagi-lagi mataku berulang seperti pusing berjari lima

Kemudian ada rantai yang menggodaku lewat puisi tanpa batas

Apakah aku rindu?

Apakah aku sudah seperti senja sampai kucing-kucing saja bermekaran jambu

Belum lagi tubuhku yang nyaris ambruk kemudian muntah cahaya palsu

Hahaha...


Aku tak tahu

Apakah aku sudah mabuk?

Tapi aku tak minum alkohol atau pun mengisap ganja

Aku hanya terlalu banyak menatap gawai

Yang memancarkan cahaya-cahaya buatan si bodoh sialan



Interpretasi Puisi "Cahaya Palsu"


Puisi ini menciptakan gambaran keadaan yang mirip dengan pengalaman mata yang pusing akibat terlalu lama menatap layar gadget. Seperti dalam puisi, mata yang "berulang seperti pusing berjari lima" menciptakan rasa kepenatan dan kelelahan. Rantai puisi tanpa batas mewakili gelombang kesedihan dan kekosongan yang terus mendera, mirip dengan keterkaitan yang tak terputus dengan layar gawai.


Kemudian, ada pertanyaan-pertanyaan retoris dalam puisi, seperti "Apakah aku rindu?" yang bisa diartikan sebagai refleksi terhadap kehilangan atau kekosongan. Seperti matahari terbenam yang menjadi senja, puisi menggambarkan perasaan kehilangan dan pergulatan batin melalui metafora kucing-kucing yang bermekaran jambu. Ini bisa diartikan sebagai kehilangan yang begitu dalam sehingga bahkan keindahan sekitar terasa menyakitkan.


Penggunaan kata "nyaris ambruk kemudian muntah cahaya palsu" menciptakan gambaran visual terhadap dampak negatif dari paparan terus-menerus terhadap layar. Muntah cahaya palsu mencerminkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap kehidupan yang semakin terjerat dalam dunia maya yang terlihat indah tetapi sebenarnya hampa.


"Hahaha..." diakhir puisi memberikan nuansa ironi atau bahkan kegilaan. Ini bisa diartikan sebagai reaksi terhadap keadaan yang sulit dijelaskan, menciptakan atmosfer gelap dan misterius. Puisi ini mengeksplorasi rasa tidak pasti dan ketidakmampuan untuk memahami diri sendiri, menciptakan suasana kekacauan yang mewakili ketidakstabilan emosional.


Kemudian, pertanyaan "Apakah aku sudah mabuk?" memberikan sentuhan realitas dan menyoroti kebingungan yang mungkin dirasakan oleh seseorang yang terlalu lama terpaku pada dunia digital. Puisi ini secara halus merangkai gambaran kecanduan terhadap layar gadget, menyisipkan pertanyaan tentang kesadaran diri dan kesehatan mental.


Dengan mengaitkan puisi ini dengan tema putus cinta, kita dapat melihat bahwa kekosongan yang diungkapkan oleh mata yang pusing dan muntah cahaya palsu dapat menjadi metafora untuk kehilangan dalam hubungan. Rasa kehilangan tersebut dapat menyebabkan seseorang berusaha mencari pelarian dalam dunia digital, yang pada gilirannya dapat merusak kesehatan fisik dan mentalnya.


Dengan demikian, "Cahaya Palsu" menggambarkan perjalanan emosional dari kelelahan mata hingga meresapi kekosongan dan penderitaan melalui mata yang terus-menerus menatap layar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Sudut Lemari

Gelisah

Pusing (Sebuah Puisi)